twitter


CBE saat ini memang sedang menggagas sebuah konsep Sekolah Berbasis
Sains dan Teknologi (SBST). Latar belakangnya adalah adanya pemikiran
bahwa di tengah dunia yang makin global, penguasaan sains dan teknologi
bagi sebuah bangsa akan sangat menentukan posisi bangsa tersebut di
antara bangsa-bangsa lain. Kami di CBE melihat bahwa pendidikan di
negara kita belum memiliki konsep yang kuat dalam penguasaan Sains dan
Teknologi tersebut.
Dua faktor mengapa penguasaan sains dan teknologi menjadi penting
adalah karena hal ini berhubungan erat dengan: 1) keberlangsungan umat
manusia di dunia ini, khususnya yang berhubungan dengan pilihan
tindakan yang bijak terhadap isu-isu global (pemanasan global, rekayasa
genetik dll); 2) tuntutan angkatan kerja dalam lingkungan ekonomi yang
berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Upaya peningkatan mutu pendidikan dengan menetapkan relevansi pada
tantangan masa depan sangatlah krusial. Kegagalan dalam memberikan arah
dan relevansi pendidikan pada perkembangan dunia akan membawa Indonesia
pada masalah yang sangat serius. Visi kita dalam menetapkan tantangan
di masa depan dan misi dalam mencapainya melalui pendidikan sangat
menentukan masa depan bangsa.
Kami percaya bahwa Sains dan Teknologi merupakan dua hal yang sangat
menonjol perkembangannya dalam membentuk dan menentukan corak kehidupan
manusia di masa kini dan akan semakin penting perannya di masa depan.
Kemajuan dalam sains dan teknologi juga menentukan besar kecilnya
pengaruh sebuah bangsa dalam percaturan dunia. Oleh sebab itu kemampuan
bangsa Indonesia dalam merumuskan arah dan kebijakannya dalam
pendidikan berbasis sains dan teknologi ini akan menentukan masa depan
bangsa Indonesia dan mempengaruhi posisi Indonesia di mata
bangsa-bangsa lain.. Pendidikan yang berbasis Sains dan Teknologi yang
dihubungkan dengan kehidupan nyata akan dapat membekali peserta didik
dengan kecakapan hidup dan kehidupan (life skill) yang secara
integratif memadukan potensi generik dan spesifik guna memecahkan dan
mengatasi problema kehidupan mereka sebagai individu dan juga bangsa
secara umum.

Ada beberapa permasalahan yang kita hadapi sehingga membuat kami
berpikir untuk menyodorkan konsep SBST tersebut. Salah satunya adalah
bahwa meski siswa-siswa Indonesia terus menerus memperoleh kemenangan
di berbagai olimpiade sains, secara agregat kualitas pendidikan di
Indonesia mengalami kemunduran yang serius. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai statistik yang menunjukkannya. Dari komparasi internasional,
mutu pendidikan di Indonesia juga kurang menggembirakan. Human
Development Index (HDI) Indonesia menduduki peringkat 102 dari 106
negara yang disurvai dan satu peringkat di bawah Vietnam. Survai the
Political Economic Risk Consultation (PERC) melaporkan Indonesia berada
di peringkat ke 12 dari 12 negara yang disurvai, juga satu peringkat di
bawah Vietnam. Hasil studi the Third International Mathematics and
Science Study-Repeat (TIMSS-R 1999) melaporkan bahwa siswa SLTP
Indonesia menempati peringkat 32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika dari
38 negara yang distudi di Asia, Australia dan Afrika. Demikian juga
hasil tes PISA tahun 2003 yang lebih khusus dalam literasi matematika
dan sains, yaitu bukan dalam isi pelajaran sainsnya sendiri tapi
menunjukkan pemahaman siswa tentang prinsip dan konsep sains dan
matematika melalui bacaan, prestasi belajar siswa berada di ranking 39
dari 41 negara lainnya. Pada skala nasional, sebelum diberlakukannya UN
tahun 2003, prestasi siswa pada ujian akhir sekolah angka rata-ratanya
pun tidak pernah mencapai standar. Demikian juga hasil tes PISA tahun
2003 yang lebih khusus dalam literasi matematika dan sains, yaitu bukan
dalam isi pelajaran sainsnya sendiri tapi menunjukkan pemahaman siswa
tentang prinsip dan konsep sains dan matematika melalui bacaan,
prestasi belajar siswa berada di ranking 39 dari 41 negara lainnya.
Pada skala nasional, sebelum diberlakukannya UN tahun 2003, prestasi
siswa pada ujian akhir sekolah angka rata-ratanya pun tidak pernah
mencapai standar. Perbandingan lain dapat dilihat dari jumlah pakar
yang kita miliki dengan negara-negara lain. Jumlah pakar kita per
10.000 orang tenaga kerja hanyalah 3,46 orang, dibandingkan Singapura
yang 40 orang dan Jepang yang 74,9 orang. Jelas sangat jauh dari
memadai untuk bersaing dengan negara-negara tersebut.
Hasil penilaian terhadap HDI maupun hasil survai TIMSS-R 1999 dan PECR
dengan 17 indikatornya serta fenomena yang ditemukan di tanah air
menjadi pelajaran (Lesson learned) yang sangat berharga, yaitu bahwa
upaya peningkatan mutu pendidikan yang selama ini dilakukan belum mampu
memecahkan masalah dasar pendidikan di Indonesia. Studi Blazely dkk.
(1997) melaporkan bahwa pembelajaran di sekolah cenderung sangat
teoretik dan tidak terkait dengan lingkungan di mana anak berada.
Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajari di
sekolah guna memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi dalam kehidupan
keseharian.

Selain hal tersebut ada tantangan berat yang kita hadapi di masa depan.
Di dalam negeri krisis ekonomi menyebabkan angka pengangguran terus
meningkat, yang diperkirakan telah mencapai 40 juta. Mengingat krisis
ekonomi tersebut tampaknya belum segera pulih maka angka pengangguran
juga belum segera dapat turun, sehingga pendidikan perlu berperan aktif
membantu mengatasi pengangguran tersebut.
Dari dalam bidang pendidikan sendiri, diketahui terdapat 88,4% lulusan
SLTA tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, dan 34,4% lulusan SLTP yang
tidak melanjutkan ke SLTA. Mereka jelas berpotensi menambah jumlah
angka pengangguran yang sudah sedemikian besar. Hal ini berarti bahwa
perlu dipikirkan bagaimana pendidikan yang mereka peroleh di bangku
sekolah dapat berperan mengubah mereka menjadi manusia produktif, perlu
dipersiapkan bekal apa yang perlu diberikan kepada peserta didik agar
mereka dapat memasuki dunia kerja, dan menjadi bagian dari pembangunan
bangsa. Ironisnya, lulusan SLTP dan SLTA ini justru tidak mampu mengisi
kesempatan kerja yang tersedia karena ketidakrelevanan antara apa yang
telah mereka pelajari di sekolah dengan tantangan dunia kerja itu
sendiri. Pendidikan yang mereka peroleh di sekolah tidak dirancang
untuk mampu menjawab tantangan dunia kerja yang menuntut literasi sains
dan teknologi yang semakin tinggi standarnya.
AFTA ( Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area) telah
dimulai sejak 2003, yang berarti sejak saat itu persaingan tenaga kerja
akan menjadi terbuka. Konsekwensinya tenaga kerja kita harus mampu
bersaing secara terbuka dengan tenaga kerja asing dari berbagai negara.
Jika kita tidak mampu menjawab , maka mungkin tak lama lagi Indonesia
akan dibanjiri oleh tenaga kerja asing dari negeri jiran, seperti
Philipina, Banglades, India, dan sebagainya. Bangsa Indonesia tidak
akan mampu menjadi tuan di rumah sendiri dan harus menanggung beban
keterpurukan yang jauh lebih parah daripada krisis ekonomi yang sampai
sekarang belum juga selesai ini. Sekali lagi bidang pendidikan perlu
dirancang secara tepat agar dapat menjawab tantangan-tantangan masa
depan tersebut. Bangsa Indonesia harus dipersiapkan melalui pendidikan
yang berbasis sains dan teknologi agar mampu bersaing dengan rekan
mereka dari negara lain.
Meski sering digembar-gemborkan bahwa pendidikan haruslah seimbang
antara penguasaan IPTEK dan IMTAK tapi pemahaman tentang pendidikan
yang berbasiskan IPTEK itu sendiri tidak pernah dirumuskan secara jelas
sehingga dapat dijadikan sebagai arahan dalam implementasinya di
sekolah. Kebanggaan dan kepercayaan diri bangsa akan kemampuan
menguasai IPTEK yang selama ini telah mulai dibangun oleh BJ Habibie
dengan IPTN-nya kini tenggelam kembali.





Powered By Blogger